cici lagi nunggu yoyo...

cici lagi nunggu yoyo...
ana suka banget ma kartun ini (walaupun gag ada di tv.hhahaa)

pharmacy

Selasa, 01 Mei 2012

Broken Angel

Ini adalah cerpen yang khusus ditulis oleh sahabat saya, Emira Dian Mayasari. Cerpen ini diangkat dari sebuah cerita cinta seorang gadis (ehmm lebih tepatnya penantian) ..hehee

BROKEN ANGEL...
by: Emira Dian Mayasari

“Ka! Tunggu, Ka!” Seru Tere menarik pergelangan tangan kiri Tara. “Kak Tara, abis dari mana?!”

“Baru kelar latihan basket..” Jawab Tara menuju kamar tidurnya.
“Jangan bohong, Ka! Pasti kakak abis jalan, bareng Rena ‘kan?!”
“Kamu gak lihat, ini ada bola basket ditangan kakak..”
“Oh?! Baru main basket bareng Rena, juga?!” Sahut Tere sinis.
“Kenapa sih ‘Ter, semuanya selalu kamu hubungkan dengan Rena?!”
“Siapa lagi, kalau bukan dia ‘Kak?! Selama ini Rena ‘kan, yg lebih penting buat kakak!” Gerutu Tere mendorong pundak Tara pelan. “Aku ini saudara kembar kakak, kan?! Tapi kenapa?! Kak Tara lebih suka menghabiskan waktu bareng Rena, ketimbang aku!” Lanjut Tere, menahan tangis. “Apa kak Tara malu, punya adik cacat seperti aku!”
“Kakak kurang apa, buat kamu ‘Ter?! Sebagian besar waktu kakak, hanya untuk kamu!” Balas Tara, meninggi. “Bahkan kakak tak begitu peduli dengan urusan akademik. Karena apa?! Hanya karena kakak, ingin punya banyak waktu untuk menjaga kamu!”
“Jadi, aku yang salah?! Aku gak pernah minta, kecelakaan itu ada, dilahirkan untuk jadi cacat begini, apalagi untuk merepotkan kakak!”
“Siapa bilang, kamu merepotkan!” Balas Tara. “Kakak cuma ingin kamu mengerti, kalau..”
“Kalau Rena lebih penting?!” Sahut Tere memotong ucapan Tara.
“Bukan begitu, Ter. Kamu tau? Demi kamu kakak rela, tak mengungkapkan rasa cinta kakak pada Rena, hampir 7 tahun lamanya. Menurutmu, ini belum cukup?”
“Aku gak suka, lihat kak Tara jalan bareng Rena! Gak suka, Ka!”
“Memangnya Rena salah apa, ke kamu?!”
“Kalau aku bilang, gak suka! Ya, gak suka! Titik!”

 “Terserah..” Gumam Tara pasrah, seraya menutup pintu kamarnya.
“Kak! Kak Tara! Buka pintunya!” Teriak Tere seraya menggedor pintu. “Sampai kapan pun, aku gak pernah suka! Kalau kak Tara jadian, sama Rena! Agh!”

*

Hari ini di depan beranda kost, seperti biasa aku mengajari Tara beberapa materi mata kuliah yang paling dibencinya. Selama aku SMA dan hingga kini aku duduk dibangku kuliah, aku memang sering diminta oleh Tara untuk menjadi teman belajarnya.

Tara memang tercatat sebagai salah satu mahasiswa yang kurang, dalam hal akademik. Aku akui, Tara lebih berbakat dalam bidang olahraga, khususnya basket. Karena itu aku selalu berusaha dengan sabar mengajarinya, sampai Tara memang benar-benar paham apa yang aku ajarkan padanya.

Tapi adakalanya saat Tara melihat ekspresi wajahku yang mulai lelah, Tara pasti akan berpura-pura mengerti agar aku dapat berhenti mengajarinya.

Entah hanya kebetulan atau memang dijodohkan Tuhan untuk selalu bersama, sejak SMA hingga berkuliah, aku dan Tara berada disatu jurusan dan kampus yang sama. Jadi bisa disimpulkan, sudah terhitung hampir 7 tahun kami bersama.

Menjadi teman dekat selama 7 tahun itulah yang membuat orang-orang mengira kami pacaran. PadahaL, Tara tak pernah sekalipun menyatakan cinta. Meski perhatiannya selama ini, benar-benar membuatku jatuh cinta.

“Ren..” Ucap Tara melirik kearahku.
“Ya? Kenapa, Tar?”
“Kamu mau gak.. Mm..” Seketika ucapan Tara terhenti, mimik wajahnya tampak memikirkan sesuatu.
“Mau apa?” Tanyaku, berharap Tara meneruskan kata-katanya dan memintaku untuk menjadi pacarnya.
“Mm.. kamu.. kamu mau gak..”
“Hh?”
“Eh, ini! Ini!” Sahut Tara tiba-tiba menarik buku catatannya. “Kamu mau.. mau, kan?! Ajari aku, teori ini! Teori yang ini! Aku.. aku belum..”

Aku pun kecewa, setelah mendegar Tara melanjutkan kalimat ucapannya itu. Lagi-lagi tak sesuai dengan harapanku, selama ini. Mungkin sudah takdirnya, Tara tak akan pernah bisa menyatakan cintanya padaku.

“Oh, itu..” Balasku lirih. “Bukan ‘kah, aku baru menjelaskannya?”
“Ah? Apa?” Kening Tara berkerut. “Astaga! Iya, Ren! Sorry! Sorry, aku lupa! Gak jadi, Ren! Gak jadi! Aku ngerti, kog! Aku ngerti, teori ini! Eheh..” Suara tawa Tara terdengar dipaksa.
“Kalau memang belum paham, aku bisa menjelaskannya sekali lagi kog ‘Tar..”
“Ah?! Gak, Ren! Sumpah! Aku ngerti, kog!” Balas Tara yang kemudian bergegas merogoh isi tasnya.

Entah apa yang sedang dicarinya, tapi aku melihat kedua tangan Tara begitu sibuk bergerak-gerak di dalam tas ranselnya.

Tanpa membuang waktu, Tara mengeluarkan tangannya dari dalam tas. Aku sedikit dibuat heran, ketika melihat tangan Tara dibalut boneka tangan berbentuk mickey mouse. Tak beberapa lama, Tara menatap kearah boneka tangan itu dan berbicara dengan suara yang terdengar sedikit aneh..

“Hay, Rena..” Ujar Tara mengubah suaranya. Seolah-olah boneka tangan itu yang sedang berbicara kepadaku.
“Ehm..” Aku tersenyum, ketika melihat tingkah laku Tara menggerak-gerakkan boneka tangan itu di depanku.
Thanks, Rena! Karena selama ini, kamu mau berteman dengannya (Tara)..” Ucap boneka itu, seolah-olah berbicara.
“Mm, ya..” Balasku pelan, seraya melirik kearah Tara.
“Aku heran? Apa kamu tak malu, punya teman sebodoh Tara. Ahah..” Boneka tangan itu tertawa.
“Ah?” Sahutku. “Jangan mengulang kata itu. Tara tak seperti itu..” Ujarku, menatap kesal wajah boneka itu.

Setelah mendengar komentarku, Tara dengan cepat melirik kearahku.

“Tara itu, hanya lemah dalam hal mengingat materi..” Jelasku. “Karena itu, Tara harus mengulang-ulangnya beberapa kali. Tapi jika Tara sudah mengerti materi itu, aku percaya dia akan jauh lebih pintar dariku..”

Sejenak Tara berhenti menggerakkan boneka tangan miliknya. Tara terus menatapku dan kemudian tersenyum.

Tapi tak berselang beberapa detik, Tara kembali mengoceh dengan suara ala mickey mouse-nya.

“Satu pertanyaan lagi, Rena! Apa kamu tak bosan, selalu menjadi teman belajarnya? Dia selalu merepotkanmu dan kamu selalu bersedia mengajarinya..”

Aku tersenyum dan menyentuh hidung boneka tangan itu. Aku pun mulai memberanikan diri untuk menjawab pertanyaannya kali ini.

“Aku tak pernah merasa bosan mengajarinya.. Itu karena aku.. Mm, aku..”
Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, ponsel Tara tiba-tiba saja berbunyi. Tara bergegas melepas balutan boneka itu dari tangannya, lalu dengan cepat ia meraih ponsel.

Tara terlihat seperti sedang menerima sebuah message, entah dari siapa? Aku hanya melihat Tara membacanya dengan wajah kusut.

“Kenapa, Tar?”
“Biasa, Ren.. Tere minta jemput di kampusnya..”
“Oh. Kalau begitu.. belajarnya, dilanjutkan nanti saja..”
“Kamu gak marah? Kalau besok, aku ganggu lagi..”
“Ahaha..” Aku tertawa lepas. “Kamu mengajakku belajar, bukan untuk bermain ‘kan?”
“Hhm..” Giliran Tara yang tersenyum kearahku. “Maaf, ya ‘Ren. Tere memang susah, kalau diminta menunggu..”
“Gak masalah, Tar. Belajarnya 'kan, bisa lain kali..”

Tara pun kembali tersenyum dan dengan cepat mengacak-acak rambut dikepalaku dengan tangannya.
“Tara! Sudah kubilang, jangan jahil!” Protesku.
“Ahaha..”
Tara hanya tertawa, seraya membereskan buku-buku dan menyimpannya kembali ke dalam tas ranselnya. Kecuali, boneka tangan itu..
“Oh, iya ‘Ren! Ini buat kamu..” Ujar Tara menyodorkan boneka tangan itu kearahku.
“Buatku?”
“Anggap sebagai ucapan terima kasih, karena selama ini kamu tak pernah bosan mengajariku..”
“Selalu berkata begitu. Padahal, sudah banyak boneka yang kamu berikan..”
“Sudah, lah! Ambil aja..”

Aku lantas menerima, boneka tangan pemberiannya. Lalu Tara beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju mobil yang terparkir di depan pagar kost ku.
“Sampai ketemu besok, Ren. Bye..”
Bye..” Balasku.

Bayangan Tara perlahan menjauh dari hadapanku. Seketika mataku tertuju lagi pada boneka tangan pemberiannya. Aku pun meraihnya dan mencoba memasangnya dikepalan tanganku. Dengan wajah sumringah, aku berusaha meniru gaya bicara Tara dan menggerak-gerakkan boneka tangan itu. Aku mencoba mengulang kembali, pertanyaannya..

“Rena.. Apa kamu tak bosan, menjadi teman belajarnya (Tara)?” Gumamku, menggerakkan bagian mulut boneka itu.

Aku pun berusaha melanjutkan kembali jawabanku yang  sempat terpotong. Meski Tara, tak akan mungkin mendengar jawabanku ini.

“Kamu ingin tau, kenapa aku tak bosan mengajarinya? Itu karena..” Sejenak kata-kataku terhenti, tapi dengan pelan aku melanjutkannya kembali. “Itu karena.. aku sayang Tara..”
Mendadak air mataku menetes begitu saja, aku juga tak mengerti kenapa?

*

Tepat hari ini, Minggu pagi!
Tara sudah lama, ingin mengajakku pergi kesalah satu wahana rekreasi untuk menghabiskan waktu liburnya. Aku pun menerima, tawaran itu. Tara juga berjanji, akan menjemputku. Tapi karena mendadak Tere ingin ikut pergi, Tara pun memintaku untuk pergi sendiri. Tak jadi masalah buat ku, karena sejak dari awal, aku memang tak pernah meminta Tara untuk menjemputku. Aku pun bergegas pergi dengan sepeda motorku.

Sesampainya di lokasi, Tara dan Tere terlihat sudah menunggu.

“Ma.. maaf. Kalian sudah lama menunggu, ya?”
“Banget! Pake tanya!” Protes Tere, menatapku sinis. Namun Tara segera merangkul pundak Tere dan mencoba mencairkan suasana.
“Ah? Kita juga baru nyampe, Ren..” Ucap Tara berdalih. “Tunggu apalagi? Kita beli tiketnya..”
“Yuk, Kak!” Seru Tere menarik pergelangan tangan Tara dan melangkahkan kakinya, lebih cepat di depanku. Aku pun, hanya bisa mengikuti mereka dari belakang.

“Ter! Jangan terlalu cepat begitu, jalannya. Kakimu itu, belum sembuh total..”
“Tenang, Kak!” Timpal Tere, terus saja menarik tangan saudara kembarnya.
              
Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, Tere tetap bersikap dingin padaku. Tere tak mau melepas tangan Tara. Ia selalu menarik Tara, agar berjalan lebih cepat dariku. Alhasil, langkah kakiku selalu tertinggal jauh dari mereka. Sesekali Tara menolehkan wajahnya kearahku yang berada tepat dibelakangnya. Karena aku tak mau Tara merasa tak nyaman denganku, aku pun selalu melepaskan senyum kearahnya.

Keadaan seperti ini terus berlanjut, hingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Namun, sesuatu terjadi pada sepeda motorku..

“Kenapa, Ren?” Tanya Tara.
“Ini. Ban depan, bocor..”
“Bocor?”
Tara kemudian mencek kondisi ban sepeda motorku.
“Mmh.. Pasti kena ranjau paku ‘Ren..” Simpul Tara memperlihatkan sebuah paku kecil bengkok yang baru saja dicabutnya dari ban sepeda motorku. “Kalau begitu, biar aku cari bengkel dulu. Kamu dan Tere, tunggu saja disini..”
“Apa? Menunggu?!” Seru Tere lantang. “Gak! Aku gak mu! Aku mau pulang, Ka!”
“Tere..” Sahut Tara, menatapnya kesal. “Kita bantu Rena dulu. Setelah itu, kakak antar kamu pulang..”
“Gak, Kak! Aku mau pulang, sekarang!”
“Tere, kamu jangan manja!”
“Aku capek, Kak! Please, pulang sekarang!”

Aku pun tak tega, melihat Tere membujuk Tara untuk segera pulang. Apalagi mengingat kaki dan tangan Tere yang masih belum sembuh total, karena kecelakaan yang dialaminya beberapa bulan yang lalu.

“Tar, lebih baik kamu mengantar Tere pulang. Aku bisa ‘kog, urus ini sendiri..”
“Tapi, Ren?”
“Tere gak mungkin menunggumu dengan kondisi seperti itu..”
“Tapi ‘kan? Aku yang mengajakmu pergi..”
“Kak Tara, buruan! Aku capek, Kak!” Terdengar bujuk Tere untuk kesekian kalinya.

Aku juga terus ikut membujuk Tara untuk segera mengantar Tere pulang.
“Tar..” Ujarku memelas.
“Tapi ini?”
“Tenang, Tar..” Balasku. “Kau lihat banyak orang disini, aku bisa meminta bantuan mereka..”
“Tapi ‘Ren, aku..”
“Hhm..” Anggukku memotong ucapannya, berharap Tara segera memenuhi permintaan Tere untuk mengantarnya pulang.

Tere pun segera merangkul pundak Tara dan membawanya pergi menjauh dariku.
Sekarang Tara sudah tak lagi dihadapanku, jadi tak masalah jika kini aku terlihat sedikit menangis. Bagaimana pun, aku ini manusia biasa. Hal seperti ini, akan sangat wajar jika membuatku berair mata.

*




Keesokkan harinya..
Tara ingin mengajakku pergi makan siang bersama. Aku pun sudah lama, menunggunya di kampus. Namun, tiba-tiba saja Tara membatalkan janjinya. Tara bilang, ia harus berlatih basket dengan teman satu timnya.

Karena belum makan siang, alhasil aku memilih untuk pergi ke kantin kampus. Aku pun duduk disalah satu meja kantin, menikmati makan siangku. Tiba-tiba saja sosok Daru muncul di depanku. Daru adalah salah satu teman tim basket dengan Tara. Hal ini tentu saja membuatku penasaran, kenapa Daru tak ikut berlatih basket bersama Tara.
“Daru?”
“Hey, Rena! Sendiri, nih?! Biasanya ‘kan, sama Tara!”
“Iya. Tadi niatnya, mau makan bareng Tara. Tapi ternyata, Tara mendadak harus latihan basket. Kamu gak ikut, Ru?”
“Latihan basket?” Tanya Daru, keningnya berkerut heran. “Setahu ku, gak ada jadwal latihan basket hari ini..”
“Tapi Tara bilang, dia mau latihan..”
“Ah? Bohong dia. Paling-paling juga, Tara jemput adiknya..”
“Jemput Tere?”
“Iya, siapa lagi?” Timpal Daru. “Alasan Tara aja tuh 'Ren, berlagak mau latihan basket..”
“Masa, sih ‘Ru? Selama ini, Tara gak pernah bohong ‘kog. Lagian untuk apa, Tara bohong?” Tanyaku bingung. “Menjemput saudara kandung, hal yang wajar ‘kan?”
“Wajar, sih ‘Ren! Tapi masalahnya, saudara kandung Tara yang otaknya gak wajar!”
“Maksudnya?”
“Aku ini teman Tara, Ren..” Sahut Daru, seraya membaca daftar menu makanan. “Hal apapun yang menyangkut kepentingan adiknya, Tara akan merahasiakannya darimu. Karena Tara tak ingin, menyakiti perasaanmu. Jika harus memilih antara Tere dan dirimu, tentulah Tara akan memilih saudara kembarnya itu. Itulah, kenapa? Hari ini, dia berbohong lagi padamu..”
“Maksud mu, Ru?”
“Rena.. Rena..” Ujar Daru menggeleng-gelengkan kepalaya. “Kamu gak sadar? Kalau selama ini, Tere sangat membencimu?”

Mendengar ucapan Daru, aku lantas tak berkutik. Jujur saja, aku masih tak begitu mengerti maksud perkataan Daru.

“Aku kasih tau kamu, ya ‘Ren..” Lanjut Daru tampak serius. “Tere gak pernah suka, lihat kamu dekat dengan Tara. Karena Tere merasa, perhatian Tara sebagai seorang kakak mendadak berkurang semenjak ada kamu. Padahal, sebenarnya gak. Aku tau betul, bagaimana Tara begitu perhatiannya ke Tere. Tapi susah, lah! Adiknya manja begitu..”
“Tau dari mana, kamu?”
“Sudah kubilang, aku ini teman Tara..” Timpal Daru, berusaha meyakinkanku. “Tara banyak cerita, soal adiknya. Juga tentang rasa sayangnya, ke kamu..”
“Ah? Apa?” Tanyaku lirih, ketika mendengar kalimat teakhir yang diucapkan Daru.
“Kamu tak tau, kan? Kalau Tara dari dulu, berniat ingin menyatakan cintanya padamu? Tapi Tere selalu melarangnya..”
“Tara? Menyatakan cinta?”
“Ren. Kebohongan besar, jika seorang pria berteman dekat betahun-tahun lamanya dengan seorang wanita yang dikaguminya, tapi tak menyimpan rasa suka..” Timpal Daru menatapku. “Selama ini, Tara suka padamu..”

Ucapan Daru, tentu saja membuatku kehilangan kata-kata.  Tanganku seperti sulit bergerak, bibirku mendadak terasa kelu.

"Tapi tak bisa dipungkiri, Tara juga ingin menjaga perasaan adiknya. Mungkin karena itu, dia tak pernah berani mengungkapkan rasa cintanya padamu.."
            
*

Malam harinya, Tara kembali mengajakku pergi. Kali ini, Tara ingin mengajakku makan malam bersama. Tara bermaksud membayar semua kesalahannya, karena batal mengajakku makan siang hari ini.

Aku pun menunggu Tara, di beranda kost. Tapi setelah berjam-jam, Tara tak juga datang. Aku coba hubungi ponselnya, tapi tak aktif. Aku percaya, Tara tak akan membuatku kecewa lagi untuk keduakalinya.

Melihat aku yang duduk sendiri diberanda kost, Wen menghampiriku.
“Nunggu siapa, Ren? Sedari tadi aku lihat, kamu duduk sendiri disini. Udah malam, nih..”
“Nunggu Tara, Wen..”
“Sekarang mana, Tara’nya? Kamu sudah hubungi dia?”
“Ponselnya gak aktif..”
“Lah? Terus? Kenapa masih ditunggu? Kamu sadar gak 'sih, ini jam berapa?”
“Sebentar lagi, deh ‘Wen. Please..”

Karena Wen tak tega jika harus melihatku menunggu Tara sendiri, Wen pun ikut menemani. Tapi setelah menunggu beberapa menit, Tara juga tak tampak batang hidungnya.          

Wen kembali membujukku untuk masuk. Karena aku sangat kecewa, aku pun menangis dipundaknya.

*

Semenjak hari itu, hubunganku dengan Tara tak begitu membaik. Tara tak pernah menghubungiku, atau pun sekedar menanyakan kabarku.

Saat dikampus, Tara juga hanya datang, kuliah, lalu pergi. Ia tak pernah lagi menyempatkan waktunya dan memintaku untuk belajar bersama. Bahkan saat Tara ulang tahun, aku sengaja memberinya hadiah dan selembar kartu ucapan didalamnya. Tapi Tara seolah-olah, tak pernah menerima dan membacanya.

Sampai akhirnya Daru memberitahuku, jika kini Tara sedang dekat dengan wanita bernama Deka (teman satu kuliah Tere). Tere yang mengenalkan sosok Deka pada Tara. Tere merasa, Deka'lah yang lebih cocok untuk menjadi pacar Tara.

*
Sepulang kuliah, aku memberanikan diri untuk bicara pada Tara. Saat itu aku melihat Tara, berjalan menuju kearah parkiran mobilnya. Tanpa membuang waktu, aku bergegas mendekatinya.
“Tar, tunggu!” Aku menarik pergelangan tangannya. “Kita harus bicara..”
“Maaf, Ren. Tapi Tere sudah menunggu, ku..”
Tara kembali melangkahkan kakinya. Tapi lagi-lagi, aku berlari kecil mendekatinya.

“Tar, salahku apa?”

Ketika mendengar pertanyaan tersebut terlontar dari mulutku, Tara menghentikan langkah kakinya.

“Kamu bukan Tara..” Ucap bibirku bergetar. “Selama 7 tahun aku mengenal Tara, dia bukan seperti ini..”

Tara kemudian membalikkan tubuhnya dan menatapku.

“Sekarang kamu menyesal, mengenalku?” Tanya Tara, matanya sedikit memerah.
“Untuk apa aku menyesal, berteman dengan orang yang sudah hampir 7 tahun bersamaku..”
“Cukup 7 tahun saja, aku membuatmu susah. Aku tak mau, mengganggumu lagi..” Ujar Tara berbalik dan kemudian lanjut melangkahkan kakinya.
“Karena, Deka?” Tanyaku.

Seketika Tara menolehkan wajahnya cepat, kearahku.

“Tau apa kamu, tentang Deka?”
“Apa itu yang membuatmu, merasa perlu menjauhi ku?”
“Rena.. Ak.. aku..” suara Tara terdengar terbata-bata.

Aku merogoh isi tasku. Setelah aku temukan, aku pasang boneka tangan pemberian Tara ditanganku. Tanpa harus berfikir lama, aku mencoba mengulang kembali pertanyaan Tara saat itu. Dimana aku tak sempat menjawabnya..

“Rena..” Ujarku menggerakkan mulut boneka itu dengan suara sedikit bergetar karena menahan tangis. “Apa kamu tak bosan, menjadi teman belajarnya?”

Air mataku tiba-tiba menetes. Bergegas aku menyeka air mataku, agar Tara tak melihatnya. Lalu aku kembali menatap wajah boneka itu dan berusaha menjawab pertanyaannya.

“Aku tak pernah merasa bosan mengajarinya, apalagi menjadi temannya..” Ucapku, seolah-olah sedang berbicara dengan boneka tangan itu. Sedangkan Tara terus memandangiku. “Aku pernah memberi tahu mu, alasannya ‘kan? Aku katakan padamu, jika aku sangat sayang padanya..”

Sampai disitu, ucapanku terhenti. Aku mulai memberanikan diri untuk menatap Tara. Aku lihat mata Tara, kini memerah dan mulai berair.

“Mungkin sekarang, Tara telah menemukan teman yang tepat untuknya. Tentu saja, aku dan kamu ikut bahagia mendengarnya ‘kan?” Lanjutku lirih, lalu tersenyum kearah boneka tangan itu. Kali ini aku tak bisa menahan laju air mataku.

“Tolong sampaikan padanya. Jika hari ini dia sedang jatuh cinta pada seorang wanita. Minta ‘lah, dia untuk segera menyatakan cinta pada wanita itu. Katakan padanya, jangan membuat wanita terlalu lama menunggu. Karena aku tau bagaimana rasanya, tiba-tiba harus kehilangan seseorang yang sudah lama bersamaku dan sialnya aku sangat menyayanginya..” Ucapku, sesekali menyeka air mata.

“Jangan lupa, katakan padanya. Aku selalu ada, jika dia membutuhkan pertolonganku. Atau hanya sekedar untuk menemaninya menyelesaikan tugas itu..” Simpulku mengakhiri obrolanku dengan boneka tangan itu.

Aku segera melepaskan boneka itu dari tanganku. Setelah melepaskannya, aku berjalan mendekati Tara. Kuraih salah satu tangan Tara dan kuberikan boneka itu padanya. Air mata Tara pun, tak sengaja jatuh dipunggung tanganku, saat aku memberikan boneka itu kepadanya.

Kemudian aku pun berbalik dan pergi meninggalkannya. Aku tak tau, apa yang akan dilakukannya setelah ini? Bagaimana hubungannya dengan Deka? Semua itu tergantung bagaimana cara dia menyikapi, cerita ini..
----***----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar