BROKEN ANGEL...
by: Emira Dian Mayasari
“Ka!
Tunggu, Ka!” Seru Tere menarik pergelangan tangan kiri Tara. “Kak Tara, abis
dari mana?!”
“Baru kelar latihan basket..” Jawab Tara menuju kamar tidurnya.
“Jangan
bohong, Ka! Pasti kakak abis jalan, bareng Rena ‘kan?!”
“Kamu gak lihat, ini ada bola basket ditangan kakak..”
“Oh?! Baru
main basket bareng Rena, juga?!” Sahut Tere sinis.
“Kenapa sih ‘Ter, semuanya selalu kamu hubungkan dengan Rena?!”
“Siapa
lagi, kalau bukan dia ‘Kak?! Selama ini Rena ‘kan, yg lebih penting buat
kakak!” Gerutu Tere mendorong pundak Tara pelan. “Aku ini saudara kembar kakak,
kan?! Tapi kenapa?! Kak Tara lebih suka menghabiskan waktu bareng Rena,
ketimbang aku!” Lanjut Tere, menahan tangis. “Apa kak Tara malu, punya adik
cacat seperti aku!”
“Kakak kurang apa, buat kamu
‘Ter?! Sebagian besar waktu kakak, hanya untuk kamu!” Balas Tara, meninggi. “Bahkan
kakak tak begitu peduli dengan urusan akademik. Karena apa?! Hanya karena
kakak, ingin punya banyak waktu untuk menjaga kamu!”
“Jadi, aku
yang salah?! Aku gak pernah minta, kecelakaan itu ada, dilahirkan untuk jadi
cacat begini, apalagi untuk merepotkan kakak!”
“Siapa bilang, kamu
merepotkan!” Balas Tara. “Kakak cuma ingin kamu mengerti, kalau..”
“Kalau
Rena lebih penting?!” Sahut Tere memotong ucapan Tara.
“Bukan begitu, Ter. Kamu
tau? Demi kamu kakak rela, tak mengungkapkan rasa cinta kakak pada Rena, hampir
7 tahun lamanya. Menurutmu, ini belum cukup?”
“Aku gak
suka, lihat kak Tara jalan bareng Rena! Gak suka, Ka!”
“Memangnya Rena salah apa, ke kamu?!”
“Kalau aku
bilang, gak suka! Ya, gak suka! Titik!”
“Terserah..” Gumam Tara pasrah,
seraya menutup pintu kamarnya.
“Kak! Kak
Tara! Buka pintunya!” Teriak Tere seraya menggedor pintu. “Sampai kapan pun,
aku gak pernah suka! Kalau kak Tara jadian, sama Rena! Agh!”
*
Hari ini
di depan beranda kost, seperti biasa aku mengajari Tara beberapa materi mata
kuliah yang paling dibencinya. Selama aku SMA dan hingga kini aku duduk
dibangku kuliah, aku memang sering diminta oleh Tara untuk menjadi teman
belajarnya.
Tara
memang tercatat sebagai salah satu mahasiswa yang kurang, dalam hal akademik.
Aku akui, Tara lebih berbakat dalam bidang olahraga, khususnya basket. Karena
itu aku selalu berusaha dengan sabar mengajarinya, sampai Tara memang
benar-benar paham apa yang aku ajarkan padanya.
Tapi
adakalanya saat Tara melihat ekspresi wajahku yang mulai lelah, Tara pasti akan
berpura-pura mengerti agar aku dapat berhenti mengajarinya.
Entah
hanya kebetulan atau memang dijodohkan Tuhan untuk selalu bersama, sejak SMA
hingga berkuliah, aku dan Tara berada disatu jurusan dan kampus yang sama. Jadi
bisa disimpulkan, sudah terhitung hampir 7 tahun kami bersama.
Menjadi
teman dekat selama 7 tahun itulah yang membuat orang-orang mengira kami
pacaran. PadahaL, Tara tak pernah sekalipun menyatakan cinta. Meski
perhatiannya selama ini, benar-benar membuatku jatuh cinta.
“Ren..”
Ucap Tara melirik kearahku.
“Ya? Kenapa, Tar?”
“Kamu mau
gak.. Mm..” Seketika ucapan Tara terhenti, mimik wajahnya tampak memikirkan
sesuatu.
“Mau apa?” Tanyaku, berharap
Tara meneruskan kata-katanya dan memintaku untuk menjadi pacarnya.
“Mm..
kamu.. kamu mau gak..”
“Hh?”
“Eh, ini!
Ini!” Sahut Tara tiba-tiba menarik buku catatannya. “Kamu mau.. mau, kan?!
Ajari aku, teori ini! Teori yang ini! Aku.. aku belum..”
Aku pun
kecewa, setelah mendegar Tara melanjutkan kalimat ucapannya itu. Lagi-lagi tak
sesuai dengan harapanku, selama ini. Mungkin sudah takdirnya, Tara tak akan
pernah bisa menyatakan cintanya padaku.
“Oh, itu..” Balasku lirih. “Bukan ‘kah, aku baru menjelaskannya?”
“Ah? Apa?”
Kening Tara berkerut. “Astaga! Iya, Ren! Sorry!
Sorry, aku lupa! Gak jadi, Ren! Gak
jadi! Aku ngerti, kog! Aku ngerti, teori ini! Eheh..” Suara tawa Tara terdengar
dipaksa.
“Kalau memang belum paham,
aku bisa menjelaskannya sekali lagi kog ‘Tar..”
“Ah?! Gak,
Ren! Sumpah! Aku ngerti, kog!” Balas Tara yang kemudian bergegas merogoh isi
tasnya.
Entah apa
yang sedang dicarinya, tapi aku melihat kedua tangan Tara begitu sibuk
bergerak-gerak di dalam tas ranselnya.
Tanpa
membuang waktu, Tara mengeluarkan tangannya dari dalam tas. Aku sedikit dibuat
heran, ketika melihat tangan Tara dibalut boneka tangan berbentuk mickey mouse.
Tak beberapa lama, Tara menatap kearah boneka tangan itu dan berbicara dengan
suara yang terdengar sedikit aneh..
“Hay,
Rena..” Ujar Tara mengubah suaranya. Seolah-olah boneka tangan itu yang sedang
berbicara kepadaku.
“Ehm..” Aku tersenyum,
ketika melihat tingkah laku Tara menggerak-gerakkan boneka tangan itu di
depanku.
“Thanks, Rena! Karena selama ini, kamu
mau berteman dengannya (Tara)..” Ucap boneka itu, seolah-olah berbicara.
“Mm, ya..” Balasku pelan, seraya melirik kearah Tara.
“Aku
heran? Apa kamu tak malu, punya teman sebodoh Tara. Ahah..” Boneka tangan itu
tertawa.
“Ah?” Sahutku. “Jangan
mengulang kata itu. Tara tak seperti itu..” Ujarku, menatap kesal wajah boneka
itu.
Setelah
mendengar komentarku, Tara dengan cepat melirik kearahku.
“Tara itu, hanya lemah dalam
hal mengingat materi..” Jelasku. “Karena itu, Tara harus mengulang-ulangnya
beberapa kali. Tapi jika Tara sudah mengerti materi itu, aku percaya dia akan
jauh lebih pintar dariku..”
Sejenak
Tara berhenti menggerakkan boneka tangan miliknya. Tara terus menatapku dan
kemudian tersenyum.
Tapi tak
berselang beberapa detik, Tara kembali mengoceh dengan suara ala mickey
mouse-nya.
“Satu
pertanyaan lagi, Rena! Apa kamu tak bosan, selalu menjadi teman belajarnya? Dia
selalu merepotkanmu dan kamu selalu bersedia mengajarinya..”
Aku
tersenyum dan menyentuh hidung boneka tangan itu. Aku pun mulai memberanikan
diri untuk menjawab pertanyaannya kali ini.
“Aku tak pernah merasa bosan mengajarinya.. Itu karena aku..
Mm, aku..”
Belum
sempat aku menyelesaikan kata-kataku, ponsel Tara tiba-tiba saja berbunyi. Tara
bergegas melepas balutan boneka itu dari tangannya, lalu dengan cepat ia meraih
ponsel.
Tara
terlihat seperti sedang menerima sebuah message, entah dari siapa? Aku hanya
melihat Tara membacanya dengan wajah kusut.
“Kenapa,
Tar?”
“Biasa, Ren.. Tere minta jemput di kampusnya..”
“Oh.
Kalau begitu.. belajarnya, dilanjutkan nanti saja..”
“Kamu gak marah? Kalau besok, aku ganggu lagi..”
“Ahaha..”
Aku tertawa lepas. “Kamu mengajakku belajar, bukan untuk bermain ‘kan?”
“Hhm..” Giliran Tara yang tersenyum
kearahku. “Maaf, ya ‘Ren. Tere memang susah, kalau diminta menunggu..”
“Gak
masalah, Tar. Belajarnya 'kan, bisa lain kali..”
Tara
pun kembali tersenyum dan dengan cepat mengacak-acak rambut dikepalaku dengan
tangannya.
“Tara!
Sudah kubilang, jangan jahil!” Protesku.
“Ahaha..”
Tara
hanya tertawa, seraya membereskan buku-buku dan menyimpannya kembali ke dalam
tas ranselnya. Kecuali, boneka tangan itu..
“Oh, iya ‘Ren! Ini buat kamu..” Ujar
Tara menyodorkan boneka tangan itu kearahku.
“Buatku?”
“Anggap sebagai ucapan terima kasih,
karena selama ini kamu tak pernah bosan mengajariku..”
“Selalu
berkata begitu. Padahal, sudah banyak boneka yang kamu berikan..”
“Sudah, lah! Ambil aja..”
Aku
lantas menerima, boneka tangan pemberiannya. Lalu Tara beranjak dari tempat
duduk dan berjalan menuju mobil yang terparkir di depan pagar kost ku.
“Sampai ketemu besok, Ren. Bye..”
“Bye..” Balasku.
Bayangan
Tara perlahan menjauh dari hadapanku. Seketika mataku tertuju lagi pada boneka
tangan pemberiannya. Aku pun meraihnya dan mencoba memasangnya dikepalan
tanganku. Dengan wajah sumringah, aku berusaha meniru gaya bicara Tara dan
menggerak-gerakkan boneka tangan itu. Aku mencoba mengulang kembali,
pertanyaannya..
“Rena..
Apa kamu tak bosan, menjadi teman belajarnya (Tara)?” Gumamku, menggerakkan
bagian mulut boneka itu.
Aku
pun berusaha melanjutkan kembali jawabanku yang
sempat terpotong. Meski Tara, tak akan mungkin mendengar jawabanku ini.
“Kamu ingin tau, kenapa aku tak bosan
mengajarinya? Itu karena..” Sejenak kata-kataku terhenti, tapi dengan pelan aku
melanjutkannya kembali. “Itu karena.. aku sayang Tara..”
Mendadak
air mataku menetes begitu saja, aku juga tak mengerti kenapa?
*
Tepat
hari ini, Minggu pagi!
Tara
sudah lama, ingin mengajakku pergi kesalah satu wahana rekreasi untuk
menghabiskan waktu liburnya. Aku pun menerima, tawaran itu. Tara juga berjanji,
akan menjemputku. Tapi karena mendadak Tere ingin ikut pergi, Tara pun memintaku
untuk pergi sendiri. Tak jadi masalah buat ku, karena sejak dari awal, aku
memang tak pernah meminta Tara untuk menjemputku. Aku pun bergegas pergi dengan
sepeda motorku.
Sesampainya
di lokasi, Tara dan Tere terlihat sudah menunggu.
“Ma..
maaf. Kalian sudah lama menunggu, ya?”
“Banget! Pake tanya!” Protes Tere,
menatapku sinis. Namun Tara segera merangkul pundak Tere dan mencoba mencairkan
suasana.
“Ah?
Kita juga baru nyampe, Ren..” Ucap Tara berdalih. “Tunggu apalagi? Kita beli
tiketnya..”
“Yuk, Kak!” Seru Tere menarik
pergelangan tangan Tara dan melangkahkan kakinya, lebih cepat di depanku. Aku
pun, hanya bisa mengikuti mereka dari belakang.
“Ter!
Jangan terlalu cepat begitu, jalannya. Kakimu itu, belum sembuh total..”
“Tenang, Kak!” Timpal Tere, terus
saja menarik tangan saudara kembarnya.
Tak
jauh berbeda dengan kondisi di dalam, Tere tetap bersikap dingin padaku. Tere
tak mau melepas tangan Tara. Ia selalu menarik Tara, agar berjalan lebih cepat
dariku. Alhasil, langkah kakiku selalu tertinggal jauh dari mereka. Sesekali
Tara menolehkan wajahnya kearahku yang berada tepat dibelakangnya. Karena aku
tak mau Tara merasa tak nyaman denganku, aku pun selalu melepaskan senyum
kearahnya.
Keadaan
seperti ini terus berlanjut, hingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang.
Namun, sesuatu terjadi pada sepeda motorku..
“Kenapa,
Ren?” Tanya Tara.
“Ini. Ban depan, bocor..”
“Bocor?”
Tara
kemudian mencek kondisi ban sepeda motorku.
“Mmh..
Pasti kena ranjau paku ‘Ren..” Simpul Tara memperlihatkan sebuah paku kecil
bengkok yang baru saja dicabutnya dari ban sepeda motorku. “Kalau begitu, biar
aku cari bengkel dulu. Kamu dan Tere, tunggu saja disini..”
“Apa?
Menunggu?!” Seru Tere lantang. “Gak! Aku gak mu! Aku mau pulang, Ka!”
“Tere..” Sahut Tara, menatapnya
kesal. “Kita bantu Rena dulu. Setelah itu, kakak antar kamu pulang..”
“Gak,
Kak! Aku mau pulang, sekarang!”
“Tere, kamu jangan manja!”
“Aku
capek, Kak! Please, pulang sekarang!”
Aku
pun tak tega, melihat Tere membujuk Tara untuk segera pulang. Apalagi mengingat
kaki dan tangan Tere yang masih belum sembuh total, karena kecelakaan yang
dialaminya beberapa bulan yang lalu.
“Tar,
lebih baik kamu mengantar Tere pulang. Aku bisa ‘kog, urus ini sendiri..”
“Tapi, Ren?”
“Tere
gak mungkin menunggumu dengan kondisi seperti itu..”
“Tapi ‘kan? Aku yang mengajakmu pergi..”
“Kak
Tara, buruan! Aku capek, Kak!” Terdengar bujuk Tere untuk kesekian kalinya.
Aku
juga terus ikut membujuk Tara untuk segera mengantar Tere pulang.
“Tar..” Ujarku memelas.
“Tapi
ini?”
“Tenang, Tar..” Balasku. “Kau lihat
banyak orang disini, aku bisa meminta bantuan mereka..”
“Tapi
‘Ren, aku..”
“Hhm..” Anggukku memotong ucapannya,
berharap Tara segera memenuhi permintaan Tere untuk mengantarnya pulang.
Tere
pun segera merangkul pundak Tara dan membawanya pergi menjauh dariku.
Sekarang
Tara sudah tak lagi dihadapanku, jadi tak masalah jika kini aku terlihat
sedikit menangis. Bagaimana pun, aku ini manusia biasa. Hal seperti ini, akan
sangat wajar jika membuatku berair mata.
*
Keesokkan
harinya..
Tara
ingin mengajakku pergi makan siang bersama. Aku pun sudah lama, menunggunya di
kampus. Namun, tiba-tiba saja Tara membatalkan janjinya. Tara bilang, ia harus
berlatih basket dengan teman satu timnya.
Karena
belum makan siang, alhasil aku memilih untuk pergi ke kantin kampus. Aku pun
duduk disalah satu meja kantin, menikmati makan siangku. Tiba-tiba saja sosok
Daru muncul di depanku. Daru adalah salah satu teman tim basket dengan Tara.
Hal ini tentu saja membuatku penasaran, kenapa Daru tak ikut berlatih basket
bersama Tara.
“Daru?”
“Hey, Rena! Sendiri, nih?! Biasanya ‘kan, sama Tara!”
“Iya.
Tadi niatnya, mau makan bareng Tara. Tapi ternyata, Tara mendadak harus latihan
basket. Kamu gak ikut, Ru?”
“Latihan basket?” Tanya Daru,
keningnya berkerut heran. “Setahu ku, gak ada jadwal latihan basket hari ini..”
“Tapi
Tara bilang, dia mau latihan..”
“Ah? Bohong dia. Paling-paling juga, Tara jemput adiknya..”
“Jemput
Tere?”
“Iya, siapa lagi?” Timpal Daru. “Alasan
Tara aja tuh 'Ren, berlagak mau latihan basket..”
“Masa,
sih ‘Ru? Selama ini, Tara gak pernah bohong ‘kog. Lagian untuk apa, Tara
bohong?” Tanyaku bingung. “Menjemput saudara kandung, hal yang wajar ‘kan?”
“Wajar, sih ‘Ren! Tapi masalahnya,
saudara kandung Tara yang otaknya gak wajar!”
“Maksudnya?”
“Aku ini teman Tara, Ren..” Sahut
Daru, seraya membaca daftar menu makanan. “Hal apapun yang menyangkut
kepentingan adiknya, Tara akan merahasiakannya darimu. Karena Tara tak ingin,
menyakiti perasaanmu. Jika harus memilih antara Tere dan dirimu, tentulah Tara
akan memilih saudara kembarnya itu. Itulah, kenapa? Hari ini, dia berbohong
lagi padamu..”
“Maksud
mu, Ru?”
“Rena.. Rena..” Ujar Daru menggeleng-gelengkan
kepalaya. “Kamu gak sadar? Kalau selama ini, Tere sangat membencimu?”
Mendengar
ucapan Daru, aku lantas tak berkutik. Jujur saja, aku masih tak begitu mengerti
maksud perkataan Daru.
“Aku kasih tau kamu, ya ‘Ren..”
Lanjut Daru tampak serius. “Tere gak pernah suka, lihat kamu dekat dengan Tara.
Karena Tere merasa, perhatian Tara sebagai seorang kakak mendadak berkurang
semenjak ada kamu. Padahal, sebenarnya gak. Aku tau betul, bagaimana Tara
begitu perhatiannya ke Tere. Tapi susah, lah! Adiknya manja begitu..”
“Tau
dari mana, kamu?”
“Sudah kubilang, aku ini teman Tara..”
Timpal Daru, berusaha meyakinkanku. “Tara banyak cerita, soal adiknya. Juga tentang
rasa sayangnya, ke kamu..”
“Ah?
Apa?” Tanyaku lirih, ketika mendengar kalimat teakhir yang diucapkan Daru.
“Kamu tak tau, kan? Kalau Tara dari
dulu, berniat ingin menyatakan cintanya padamu? Tapi Tere selalu melarangnya..”
“Tara?
Menyatakan cinta?”
“Ren. Kebohongan besar, jika seorang
pria berteman dekat betahun-tahun lamanya dengan seorang wanita yang
dikaguminya, tapi tak menyimpan rasa suka..” Timpal Daru menatapku. “Selama
ini, Tara suka padamu..”
Ucapan
Daru, tentu saja membuatku kehilangan kata-kata. Tanganku seperti sulit bergerak, bibirku
mendadak terasa kelu.
"Tapi
tak bisa dipungkiri, Tara juga ingin menjaga perasaan adiknya. Mungkin karena
itu, dia tak pernah berani mengungkapkan rasa cintanya padamu.."
*
Malam
harinya, Tara kembali mengajakku pergi. Kali ini, Tara ingin mengajakku makan
malam bersama. Tara bermaksud membayar semua kesalahannya, karena batal
mengajakku makan siang hari ini.
Aku
pun menunggu Tara, di beranda kost. Tapi setelah berjam-jam, Tara tak juga
datang. Aku coba hubungi ponselnya, tapi tak aktif. Aku percaya, Tara tak akan
membuatku kecewa lagi untuk keduakalinya.
Melihat
aku yang duduk sendiri diberanda kost, Wen menghampiriku.
“Nunggu
siapa, Ren? Sedari tadi aku lihat, kamu duduk sendiri disini. Udah malam,
nih..”
“Nunggu Tara, Wen..”
“Sekarang
mana, Tara’nya? Kamu sudah hubungi dia?”
“Ponselnya gak aktif..”
“Lah?
Terus? Kenapa masih ditunggu? Kamu sadar gak 'sih, ini jam berapa?”
“Sebentar lagi, deh ‘Wen. Please..”
Karena
Wen tak tega jika harus melihatku menunggu Tara sendiri, Wen pun ikut menemani.
Tapi setelah menunggu beberapa menit, Tara juga tak tampak batang
hidungnya.
Wen
kembali membujukku untuk masuk. Karena aku sangat kecewa, aku pun menangis
dipundaknya.
*
Semenjak
hari itu, hubunganku dengan Tara tak begitu membaik. Tara tak pernah
menghubungiku, atau pun sekedar menanyakan kabarku.
Saat
dikampus, Tara juga hanya datang, kuliah, lalu pergi. Ia tak pernah lagi
menyempatkan waktunya dan memintaku untuk belajar bersama. Bahkan saat Tara
ulang tahun, aku sengaja memberinya hadiah dan selembar kartu ucapan
didalamnya. Tapi Tara seolah-olah, tak pernah menerima dan membacanya.
Sampai
akhirnya Daru memberitahuku, jika kini Tara sedang dekat dengan wanita bernama
Deka (teman satu kuliah Tere). Tere yang mengenalkan sosok Deka pada Tara. Tere
merasa, Deka'lah yang lebih cocok untuk menjadi pacar Tara.
*
Sepulang
kuliah, aku memberanikan diri untuk bicara pada Tara. Saat itu aku melihat
Tara, berjalan menuju kearah parkiran mobilnya. Tanpa membuang waktu, aku
bergegas mendekatinya.
“Tar,
tunggu!” Aku menarik pergelangan tangannya. “Kita harus bicara..”
“Maaf, Ren. Tapi Tere sudah menunggu, ku..”
Tara
kembali melangkahkan kakinya. Tapi lagi-lagi, aku berlari kecil mendekatinya.
“Tar,
salahku apa?”
Ketika
mendengar pertanyaan tersebut terlontar dari mulutku, Tara menghentikan langkah
kakinya.
“Kamu
bukan Tara..” Ucap bibirku bergetar. “Selama 7 tahun aku mengenal Tara, dia
bukan seperti ini..”
Tara
kemudian membalikkan tubuhnya dan menatapku.
“Sekarang kamu menyesal,
mengenalku?” Tanya Tara, matanya sedikit memerah.
“Untuk
apa aku menyesal, berteman dengan orang yang sudah hampir 7 tahun bersamaku..”
“Cukup 7 tahun saja, aku membuatmu
susah. Aku tak mau, mengganggumu lagi..” Ujar Tara berbalik dan kemudian lanjut
melangkahkan kakinya.
“Karena,
Deka?” Tanyaku.
Seketika
Tara menolehkan wajahnya cepat, kearahku.
“Tau apa kamu, tentang Deka?”
“Apa
itu yang membuatmu, merasa perlu menjauhi ku?”
“Rena.. Ak.. aku..” suara Tara terdengar terbata-bata.
Aku
merogoh isi tasku. Setelah aku temukan, aku pasang boneka tangan pemberian Tara
ditanganku. Tanpa harus berfikir lama, aku mencoba mengulang kembali pertanyaan
Tara saat itu. Dimana aku tak sempat menjawabnya..
“Rena..”
Ujarku menggerakkan mulut boneka itu dengan suara sedikit bergetar karena
menahan tangis. “Apa kamu tak bosan, menjadi teman belajarnya?”
Air
mataku tiba-tiba menetes. Bergegas aku menyeka air mataku, agar Tara tak
melihatnya. Lalu aku kembali menatap wajah boneka itu dan berusaha menjawab
pertanyaannya.
“Aku
tak pernah merasa bosan mengajarinya, apalagi menjadi temannya..” Ucapku,
seolah-olah sedang berbicara dengan boneka tangan itu. Sedangkan Tara terus
memandangiku. “Aku pernah memberi tahu mu, alasannya ‘kan? Aku katakan padamu,
jika aku sangat sayang padanya..”
Sampai
disitu, ucapanku terhenti. Aku mulai memberanikan diri untuk menatap Tara. Aku
lihat mata Tara, kini memerah dan mulai berair.
“Mungkin
sekarang, Tara telah menemukan teman yang tepat untuknya. Tentu saja, aku dan kamu
ikut bahagia mendengarnya ‘kan?” Lanjutku lirih, lalu tersenyum kearah boneka
tangan itu. Kali ini aku tak bisa menahan laju air mataku.
“Tolong
sampaikan padanya. Jika hari ini dia sedang jatuh cinta pada seorang wanita.
Minta ‘lah, dia untuk segera menyatakan cinta pada wanita itu. Katakan padanya,
jangan membuat wanita terlalu lama menunggu. Karena aku tau bagaimana rasanya,
tiba-tiba harus kehilangan seseorang yang sudah lama bersamaku dan sialnya aku
sangat menyayanginya..” Ucapku, sesekali menyeka air mata.
“Jangan
lupa, katakan padanya. Aku selalu ada, jika dia membutuhkan pertolonganku. Atau
hanya sekedar untuk menemaninya menyelesaikan tugas itu..” Simpulku mengakhiri
obrolanku dengan boneka tangan itu.
Aku
segera melepaskan boneka itu dari tanganku. Setelah melepaskannya, aku berjalan
mendekati Tara. Kuraih salah satu tangan Tara dan kuberikan boneka itu padanya.
Air mata Tara pun, tak sengaja jatuh dipunggung tanganku, saat aku memberikan
boneka itu kepadanya.
Kemudian
aku pun berbalik dan pergi meninggalkannya. Aku tak tau, apa yang akan
dilakukannya setelah ini? Bagaimana hubungannya dengan Deka? Semua itu
tergantung bagaimana cara dia menyikapi, cerita ini..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar